Rasya memintaku menunggunya ditempat ini, tempat biasa kami
menikmati senja. Disinilah segala keluh kesah kami tumpahkan bersama, dengan
canda juga tawa. Sesekali terdengar kicau burung berlalu-lalang sedang mencari seuntai
ilalang kering untuk membangun rumahnya. Seperti kami. Kami juga sedang mencari
keyakinan pada diri kami masing-masing, untuk membangun sebuah rumah, rumah
tempat kami kembali kemana pun kami pergi. Empat tahun 5 bulan, waktu yang
bukan sebentar kami habiskan bersama. Dalam kurun waktu tersebut kami
memulainya dari nol. Berawal dari seorang gadis SMA dan seorang mahasiswa yang
saling jatuh cinta. Sampai pada saat ini, saat yang sudah mantap untuk kami
melangkah ke jenjang pernikahan.
Sudah pukul 16.30 WIB, rasya belum
juga muncul. Selepas sholat ashar di masjid dekat kantorku, aku langsung kesini
karena rasya memintaku untuk lekas ke tempat ini seusai sholat ashar. Tapi ia
belum juga muncul. “Ah, mungkin sebentar
lagi dia datang.” Ucapku dalam hati sambil terus melihat jam yang melingkar
ditanganku.
“Assalamu’alaikum, nadya. Ma’af ya aku terlambat datang, tadi
aku membeli es krim dan camilan terlebih dahulu. Aku gak rela kalau sampai pipi
tembem kamu ini mengempes walau sedikit saja.” Ucap rasya sambil tersenyum.
“Walaikumsalam, rasya. Iya tidak apa-apa. Terimakasih, karena
selama empat tahun lima bulan ini kamu selalu membelikan es krim kesukaanku
ketika kita sedang menyaksikan senja.” Ucapku sambil tersenyum.
“Iya sayang, bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apakah masalah
dengan klien tempo hari sudah menemui titik terang?”
“Alhamdulillah, sudah. Pihak perusahaan akan mengganti
kesalahan teknis yang terjadi dilapangan secara gratis. Karena kalau sampai ke
meja hijau, tentu biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar dan akan berdampak besar pada perusahaan.”
“Syukurlah kalau begitu. Eh, sayang lihat awan itu. Coba
tebak, awan itu mirip benda apa?” tangan rasya menunjuk salah satu awan.
“Emm … apa ya? Terlihat seperti … Kelinci.”
“Kalau yang disebelahnya?”
“Seperti … cincin. Dan disebelahnya lagi seperti … bayi. Haha
.. Lucu ya?”
“Bayinya seperti kamu.”
“Kok aku?”
“Iya, pipinya. Wek ..” rasya menjulurkan lidahnya.
“Ah, kamu. Jail banget.”
“Biarin. Pacar aku ini pipinya tembem, hidungnya sedikit
pesek, terkadang suka menyebalkan karena kalau udah ngambek, cuma mawar putih
yang bisa membuat dia tersenyum dan mencari mawar putih yang sedang mekar,
bukanlah hal yang mudah. Selain itu, suka jail mencubit hidung ku kuat-kuat.
Tapi aku cinta luar biasa.” Rasya mencubit hidungku dan membenamkan kepalaku ke
dalam pelukannya. Hal yang sangat membuatku
nyaman.
“Ah, bahagianya … meskipun terkadang aku bersifat seperti
anak kecil, manja. Tapi kamu selalu sabar menghadapiku, membimbingku.
Terimakasih ya rasya.”
“Kamu tidak perlu berterimakasih, nadya. Itu sudah
kewajibanku.”
“Tak! tak! Bleh …” aku melepeh sebuah benda yang hampir
tertelan olehku bersamaan dengan es krim cup yang dibelikan oleh rasya.
“Kamu kenapa, nad?”
“Gak tau, ini ada sesuatu didalam es krimnya. Loh, ini kan …
cincin. Wah, pasti harganya mahal. Mungkin ini cincin pegawai es krim yang
terlepas saat memasukkannya kedalam cup ya, rasya.”
“Bukan, nad … Itu cincin dariku. Dengan disaksikan oleh senja
yang amat kita cintai oranyenya. Bolehkah aku menjadi imam mu? Membimbingmu
menuju ibadah yang lebih sempurna. Dan maukah kamu mendampingiku dalam sakit
maupun sehat? Dalam susah maupun senang? Menjalani hidup yang tak mudah
denganku? Menjadi ibu dari anak-anakku?”
“Dengan disaksikan oleh senja yang amat kita cintai
oranyenya. Aku mau kamu yang menjadi imamku, membimbingku menuju ibadah yang
lebih sempurna, mendampingimu dalam
sakit maupun sehat. Dalam susah maupun senang. Menjalani hidup yang tak mudah
denganmu dan menjadi ibu dari anak-anakmu. Aku mau, rasya” mataku berkaca-kaca,
lalu terbenam dalam pelukannya.
Hari ini kami akan berkeliling
mencari souvenir untuk pernikahan kami, kami juga akan menengok busana untuk
resepsi pernikahan kami, dan mampir sebentar untuk melihat sejauh mana
persiapan undangan pernikahan kami.
“Kamu suka souvenir yang ini, nad?” rasya menyodorkan kipas
kayu yang bisa disablon dengan nama kami.
“Emm … bagaimana kalau lilin aroma terapi ini saja? Selain
cantik, unik, juga bermanfaat.”
“Baiklah, itu juga bagus.” Rasya tersenyum.
“Kamu cantik sekali memakai gaun ini, nad.”
“Kamu juga tampan memakai baju ini, rasya. Ada bagian yang
membuatmu tidak nyaman?”
“Tidak, aku sudah nyaman memakainya.”
Konsep yang kami usung dalam pernikahan kami adalah sederhana
tapi elegan, dengan sentuhan dominasi mawar putih dan busana kombinasi warna pink
dan abu-abu. Membuatku yakin akan sangat bahagia dihari tersebut. Dalam adat
jawa, pengantin akan dipingit selama satu minggu. Tidak boleh berkomunikasi
dalam bentuk apapun apalagi bertemu. Baru empat hari kami dipingit, rinduku
sudah luar biasa menggebu. Aku ingin bertemu rasya, sebentar saja. Dengan
mengendap-ngendap aku meraih ponselku yang disimpan oleh ibu didalam lemari
bajuku. “Aku rindu sekali denganmu, kita bertemu ya. Sore ini, ditempat biasa.
I love You.”
Sudah pukul 16.15 WIB rasya belum juga muncul, ah mungkin dia
sedang membeli es krim dan camilan untukku. Sambil terus memandangi jam yang
melingkar ditanganku. Pukul 16.45 WIB. Aku mulai gelisah. “Ah, sial. Apakah
rasya tidak membaca pesan singkatku? Dia juga sedang dipingit, mungkin saja ponselnya
disimpan oleh ibunya. Kenapa tak terfikirkan olehku untuk menelfonnya?.” Pukul
17.00 WIB, aku menangis. Aku rindu dengan rasya. Rasanya tak bisa lagi ditahan
meskipun dua hari lagi kami akan bertemu di hari bahagia kami.
Aku pulang kerumah dengan mengendap-endap. Tapi ketahuan oleh
ibuku. Ibuku menangis tersedu-sedu.
“Kamu dari mana saja, nak? Kami semua mencarimu.”
“Iya ma’afkan nadya bu … tadi nadya pergi sebentar kerumah
teman. Ibu kenapa menangis seperti ini? Kan nadya sudah pulang, ibu jangan menangis
lagi ya?”
“Tidak, nak. Ibu tidak bisa berhenti menangis, dada ibu
terasa sangat sakit.”
“Ibu kenapa? Ibu sakit ya? Kita ke dokter saja ya?”
“Mbak, mas rasya …” ucap adik sepupuku, anita. Ia memelukku
erat.
“Loh kamu kenapa menangis juga, nit? Mbak tidak apa-apa kok,
mbak tadi cuma kerumah teman sebentar.
“Mas rasya, mbak … Mas rasya sudah tidak ada”
“Ya mas rasya dirumahnya, sedang dipingit. Tidak ada disini.”
“Mas rasya sudah pergi mbak, untuk selama-lamanya.”
“Ah, ngaco kamu, nit. Kamu ini bicara apa?”
“Tadi sore Pukul 16.00 WIB mas rasya kecelakaan, mbak. Ia
menyelamatkan seorang anak kecil yang sedang menyeberang dan hampir ditabrak
oleh sebuah truk. Tapi mas rasya menolongnya, dan mas rasya tidak tertolong.
Ada plastik berisi es krim dan mawar putih kesukaan mbak di tangan mas rasya.
Kami mencari mbak kemana-mana tapi tidak ketemu. Sekarang kita ke pemakaman ya
mbak.”
“Kamu ngelantur ya nit? Dua hari lagi mbak menikah sama mas
rasya. Mas rasya tidak mungkin pergi meninggalkan mbak. Tidak mungkin, nit!”
aku tersungkur menangis terisak-isak berharap ini semua hanya mimpi buruk
kegugupanku menjelang pernikahan.
“Ma’afkan aku rasya …
Ma’afkan aku atas kebodohanku untuk memintamu menemuiku sore ini. Ma’afkan aku
karena aku gagal memberikan kebahagiaan kepada keluarga besar kita. Ma’afkan
aku karena aku tidak bisa mendampingimu di saat terakhir kamu menutup mata.” Aku tidak bisa menahan air mataku
yang tumpah diatas batu nisan rasya.
“Hei, tuan penyabar yang baik hati, tuan yang sangat aku cintai
dan aku rindukan pelukannya. Aku berjanji, inilah air mata terakhir yang aku
tumpahkan untukmu. Aku ingin engkau tenang di sisi Allah, aku ingin air mataku
tak menyulitkanmu disana. Aku ingin engkau bahagia disana. Aku berjanji, rinduku
adalah lantunan al-fatihah yang senantiasa kuperuntukkan dirimu. Agar terang
menyelimutimu." Semoga kelak kita bertemu di surga Allah. Menikmati senja
bersama didalam pelukan bunga tujuh rupa.
1 komentar:
Nice :) lanjooeett ..
Posting Komentar