BUKAN CINTA MANUSIA BIASA (Part 2)


#SURAT UNTUK ARE

Aku menemukan sebuah memoar yang terjatuh ditempat biasa kita menyaksikan senja, are. 
Memoar yang kamu peruntukkan ‘Paramashinta Az-Zahwa’, dan akulah pemilik nama itu.

Memoar itu sangat indah, are. 
Aku bahkan tidak menyadari tetes demi tetes yang mengalir dipipiku saat aku membacanya. 
Kamu adalah aku. Separuh dari diriku. 
Kamu bahkan lebih mengerti aku daripada diriku sendiri.

Aku malu, are. 
Aku malu karena aku pun seorang yang bebal. 
Aku sungguh ingin mencintai kamu. 
Tapi, apakah manusia dapat menentukan kepada siapa ia jatuh cinta? Tentunya tidak, are. 

Sama sepertimu, cinta yang menentukan kepada siapa kamu jatuh cinta, pun aku. 
Aku juga tidak bisa memaksakan perasaanku untuk mencintaimu lebih dari sahabat yang teramat baik.
Ma’af, are … 

Cinta memilihku untuk menjatuhkan hati pada pria itu, satu-satunya pria yang kau setujui untuk menjadi pendamping hidupku. 
Aku janji aku akan bahagia untukmu, are.

Percayalah, are. 
Tuhan sedang mempersiapkan bidadari berhati permata untuk disandingkan dengan engkau.

Terimakasih karena sudah melepaskanku.
Terimakasih karena sudah mengikhlaskanku.

Semoga kamu lekas menemukan, saat kamu melepaskan.

Semoga kita dapat bertemu lagi dalam bahagia, sahabatku. Areno Adamar.


JATUH CINTA DIAM-DIAM



Jatuh cinta diam-diam itu ibarat teduh senja,
Tak banyak hati yang mampu menangkapnya
Jatuh cinta diam-diam itu seperti setetes embun pada pagi,
Rela habis terbakar sinar mentari, demi menyejukkan daun yang amat ia cintai

Diam-diam memperhatikan sorot matamu,
Diam-diam menyimpan segala kebiasaanmu di otakku,
Diam-diam merindukanmu,
Dalam diam aku sungguh-sungguh mencintaimu,

Biarkan aku mencintai kamu, karena aku tidak pernah lelah untuk itu.
Biarkan aku mencintai kamu, karena dengan itu aku merasa menemukan suatu kenyamanan.
Biarkan aku mencintai kamu, karena dengan itu aku merasa Tuhan mencintaiku tanpa syarat.

Dan biarkan aku membahagiakan kamu, sampai semua tentangku telah berakhir.


BUKAN CINTA MANUSIA BIASA (Part I)



“Ku tetap mencintaimu, masih. Meski kamu tidak cinta aku. Ku tetap merindukan kamu.”
Pernahkah kamu mencintai seseorang yang tidak mencintaimu?
Pernahkah kamu merindukan seseorang setiap harinya meski sekalipun dia tidak merindukanmu?
Pernahkah kamu bertahan demi seseorang yang sama sekali tidak mempertahankanmu?
Aku pernah.

Aku pernah berdarah demi mencintai seseorang yang tidak mencintaiku.
Aku pernah menguras habis air mataku hanya untuk merindukan seseorang yang tidak pernah merindukanku.
Aku pernah menukar kebahagiaanku demi bertahan untuk seseorang yang tidak pernah mempertahankan aku.

Aku akui, aku adalah seorang yang bebal.
Tapi aku mencintaimu.
Aku terluka, tapi aku bahagia hanya sebab kamu tersenyum jika bersamaku.

Meskipun bukan senyum yang menggambarkan sebuah perasaan cinta.

Sampai aku benar-benar menyaksikan senyummu yang paling bersinar ketika bersama pria itu.
Membuatku sadar akan satu hal.
Melepaskan bukanlah akhir dari segala hal, tapi awal yang baru.
Bahwa mengikhlaskan bukanlah menyerah, melainkan menerima hal-hal yang tidak bisa dipaksakan.

Ku tetap mencintaimu, masih.
Maka dari itu, kamu aku lepaskan untuk terbang sebebas-bebasnya.
Untuk singgah dihati siapapun yang kamu kehendaki.
Aku membiarkan kamu pergi, karena aku merasakan bahwa kamu lebih berbahagia ketika aku lepaskan.

Pergilah …
Aku mengikhlaskanmu.

Itulah wujud cintaku terhadapmu, za.
(Paramashinta Az-zahwa)





SENJA DIPELUKAN BUNGA TUJUH RUPA


            Rasya memintaku menunggunya ditempat ini, tempat biasa kami menikmati senja. Disinilah segala keluh kesah kami tumpahkan bersama, dengan canda juga tawa. Sesekali terdengar kicau burung berlalu-lalang sedang mencari seuntai ilalang kering untuk membangun rumahnya. Seperti kami. Kami juga sedang mencari keyakinan pada diri kami masing-masing, untuk membangun sebuah rumah, rumah tempat kami kembali kemana pun kami pergi. Empat tahun 5 bulan, waktu yang bukan sebentar kami habiskan bersama. Dalam kurun waktu tersebut kami memulainya dari nol. Berawal dari seorang gadis SMA dan seorang mahasiswa yang saling jatuh cinta. Sampai pada saat ini, saat yang sudah mantap untuk kami melangkah ke jenjang pernikahan.
            Sudah pukul 16.30 WIB, rasya belum juga muncul. Selepas sholat ashar di masjid dekat kantorku, aku langsung kesini karena rasya memintaku untuk lekas ke tempat ini seusai sholat ashar. Tapi ia belum juga muncul. “Ah, mungkin sebentar lagi dia datang.” Ucapku dalam hati sambil terus melihat jam yang melingkar ditanganku.
“Assalamu’alaikum, nadya. Ma’af ya aku terlambat datang, tadi aku membeli es krim dan camilan terlebih dahulu. Aku gak rela kalau sampai pipi tembem kamu ini mengempes walau sedikit saja.” Ucap rasya sambil tersenyum.
“Walaikumsalam, rasya. Iya tidak apa-apa. Terimakasih, karena selama empat tahun lima bulan ini kamu selalu membelikan es krim kesukaanku ketika kita sedang menyaksikan senja.” Ucapku sambil tersenyum.
“Iya sayang, bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apakah masalah dengan klien tempo hari sudah menemui titik terang?”
“Alhamdulillah, sudah. Pihak perusahaan akan mengganti kesalahan teknis yang terjadi dilapangan secara gratis. Karena kalau sampai ke meja hijau, tentu biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih besar dan akan berdampak besar pada perusahaan.”
“Syukurlah kalau begitu. Eh, sayang lihat awan itu. Coba tebak, awan itu mirip benda apa?” tangan rasya menunjuk salah satu awan.
“Emm … apa ya? Terlihat seperti … Kelinci.”
“Kalau yang disebelahnya?”
“Seperti … cincin. Dan disebelahnya lagi seperti … bayi. Haha .. Lucu ya?”
“Bayinya seperti kamu.”
“Kok aku?”
“Iya, pipinya. Wek ..” rasya menjulurkan lidahnya.
“Ah, kamu. Jail banget.”
“Biarin. Pacar aku ini pipinya tembem, hidungnya sedikit pesek, terkadang suka menyebalkan karena kalau udah ngambek, cuma mawar putih yang bisa membuat dia tersenyum dan mencari mawar putih yang sedang mekar, bukanlah hal yang mudah. Selain itu, suka jail mencubit hidung ku kuat-kuat. Tapi aku cinta luar biasa.” Rasya mencubit hidungku dan membenamkan kepalaku ke dalam pelukannya. Hal yang sangat membuatku  nyaman.
“Ah, bahagianya … meskipun terkadang aku bersifat seperti anak kecil, manja. Tapi kamu selalu sabar menghadapiku, membimbingku. Terimakasih ya rasya.”
“Kamu tidak perlu berterimakasih, nadya. Itu sudah kewajibanku.”
“Tak! tak! Bleh …” aku melepeh sebuah benda yang hampir tertelan olehku bersamaan dengan es krim cup yang dibelikan oleh rasya.
“Kamu kenapa, nad?”
“Gak tau, ini ada sesuatu didalam es krimnya. Loh, ini kan … cincin. Wah, pasti harganya mahal. Mungkin ini cincin pegawai es krim yang terlepas saat memasukkannya kedalam cup ya, rasya.”
“Bukan, nad … Itu cincin dariku. Dengan disaksikan oleh senja yang amat kita cintai oranyenya. Bolehkah aku menjadi imam mu? Membimbingmu menuju ibadah yang lebih sempurna. Dan maukah kamu mendampingiku dalam sakit maupun sehat? Dalam susah maupun senang? Menjalani hidup yang tak mudah denganku? Menjadi ibu dari anak-anakku?”
“Dengan disaksikan oleh senja yang amat kita cintai oranyenya. Aku mau kamu yang menjadi imamku, membimbingku menuju ibadah yang lebih sempurna,  mendampingimu dalam sakit maupun sehat. Dalam susah maupun senang. Menjalani hidup yang tak mudah denganmu dan menjadi ibu dari anak-anakmu. Aku mau, rasya” mataku berkaca-kaca, lalu terbenam dalam pelukannya.
           
            Hari ini kami akan berkeliling mencari souvenir untuk pernikahan kami, kami juga akan menengok busana untuk resepsi pernikahan kami, dan mampir sebentar untuk melihat sejauh mana persiapan undangan pernikahan kami.
“Kamu suka souvenir yang ini, nad?” rasya menyodorkan kipas kayu yang bisa disablon dengan nama kami.
“Emm … bagaimana kalau lilin aroma terapi ini saja? Selain cantik, unik, juga bermanfaat.”
“Baiklah, itu juga bagus.” Rasya tersenyum.
“Kamu cantik sekali memakai gaun ini, nad.”
“Kamu juga tampan memakai baju ini, rasya. Ada bagian yang membuatmu tidak nyaman?”
“Tidak, aku sudah nyaman memakainya.”
Konsep yang kami usung dalam pernikahan kami adalah sederhana tapi elegan, dengan sentuhan dominasi mawar putih dan busana kombinasi warna pink dan abu-abu. Membuatku yakin akan sangat bahagia dihari tersebut. Dalam adat jawa, pengantin akan dipingit selama satu minggu. Tidak boleh berkomunikasi dalam bentuk apapun apalagi bertemu. Baru empat hari kami dipingit, rinduku sudah luar biasa menggebu. Aku ingin bertemu rasya, sebentar saja. Dengan mengendap-ngendap aku meraih ponselku yang disimpan oleh ibu didalam lemari bajuku. “Aku rindu sekali denganmu, kita bertemu ya. Sore ini, ditempat biasa. I love You.”
Sudah pukul 16.15 WIB rasya belum juga muncul, ah mungkin dia sedang membeli es krim dan camilan untukku. Sambil terus memandangi jam yang melingkar ditanganku. Pukul 16.45 WIB. Aku mulai gelisah. “Ah, sial. Apakah rasya tidak membaca pesan singkatku? Dia juga sedang dipingit, mungkin saja ponselnya disimpan oleh ibunya. Kenapa tak terfikirkan olehku untuk menelfonnya?. Pukul 17.00 WIB, aku menangis. Aku rindu dengan rasya. Rasanya tak bisa lagi ditahan meskipun dua hari lagi kami akan bertemu di hari bahagia kami.
Aku pulang kerumah dengan mengendap-endap. Tapi ketahuan oleh ibuku. Ibuku menangis tersedu-sedu.
“Kamu dari mana saja, nak? Kami semua mencarimu.”
“Iya ma’afkan nadya bu … tadi nadya pergi sebentar kerumah teman. Ibu kenapa menangis seperti ini? Kan nadya sudah pulang, ibu jangan menangis lagi ya?”
“Tidak, nak. Ibu tidak bisa berhenti menangis, dada ibu terasa sangat sakit.”
“Ibu kenapa? Ibu sakit ya? Kita ke dokter saja ya?”
“Mbak, mas rasya …” ucap adik sepupuku, anita. Ia memelukku erat.
“Loh kamu kenapa menangis juga, nit? Mbak tidak apa-apa kok, mbak tadi cuma kerumah teman sebentar.
“Mas rasya, mbak … Mas rasya sudah tidak ada”
“Ya mas rasya dirumahnya, sedang dipingit. Tidak ada disini.”
“Mas rasya sudah pergi mbak, untuk selama-lamanya.”
“Ah, ngaco kamu, nit. Kamu ini bicara apa?”
“Tadi sore Pukul 16.00 WIB mas rasya kecelakaan, mbak. Ia menyelamatkan seorang anak kecil yang sedang menyeberang dan hampir ditabrak oleh sebuah truk. Tapi mas rasya menolongnya, dan mas rasya tidak tertolong. Ada plastik berisi es krim dan mawar putih kesukaan mbak di tangan mas rasya. Kami mencari mbak kemana-mana tapi tidak ketemu. Sekarang kita ke pemakaman ya mbak.”
“Kamu ngelantur ya nit? Dua hari lagi mbak menikah sama mas rasya. Mas rasya tidak mungkin pergi meninggalkan mbak. Tidak mungkin, nit!” aku tersungkur menangis terisak-isak berharap ini semua hanya mimpi buruk kegugupanku menjelang pernikahan.
“Ma’afkan aku rasya … Ma’afkan aku atas kebodohanku untuk memintamu menemuiku sore ini. Ma’afkan aku karena aku gagal memberikan kebahagiaan kepada keluarga besar kita. Ma’afkan aku karena aku tidak bisa mendampingimu di saat terakhir kamu menutup mata.” Aku tidak bisa menahan air mataku yang tumpah diatas batu nisan rasya.


“Hei, tuan penyabar yang baik hati, tuan yang sangat aku cintai dan aku rindukan pelukannya. Aku berjanji, inilah air mata terakhir yang aku tumpahkan untukmu. Aku ingin engkau tenang di sisi Allah, aku ingin air mataku tak menyulitkanmu disana. Aku ingin engkau bahagia disana. Aku berjanji, rinduku adalah lantunan al-fatihah yang senantiasa kuperuntukkan dirimu. Agar terang menyelimutimu." Semoga kelak kita bertemu di surga Allah. Menikmati senja bersama didalam pelukan bunga tujuh rupa.